Jumat, 16 Maret 2012

metodologi study islam


BAB I
PENDAHULUAN

Agama Islam sebenarnya belum sepenuhnya dipahami dan dihayati oleh seluruh umat Islam itu sendiri. Oleh karena itu dalam studi Islam harus mengubah dalam pemahaman dan penghayatan keislaman masyarakat yang beragama Islam baik itu secara khusus maupun secara umum.
Dalam hal ini, dengan adanya studi Islam ini umat Islam diharapkan dapat melahirkan suatu pemahaman yang dapat melakukan perbaikan baik itu secara intern (mencari jalan keluar dari konflik intra-agama Islam) maupun ekstern. Selain itu dengan adanya studi Islam ini diharapkan melahirkan suatu masyarakat yang siap untuk bertoleransi terhadap sesama baik itu sesama muslim maupun non-muslim.
Dalam hal ini, kelompok kami akan membahas mengenai Metode Penelitian Sejarah Studi Islam yang menggambarkan pendidikan Islam dari masa Islam periode klasik (zaman dahulu) hingga Islam periode modern (sekarang). Yang mana Pendidikan Islam ini telah ada sejak dahulu kala yang awal mulanya dilaksanakan dimasjid-masjid, namun pada zaman sekarang telah banyak lembaga-lembaga yang mendirikan pendidikan Islam baik itu berbentuk perguruan tinggi ataupun swasta. Studi Islam ini tidak hanya terdapat di negara-negara Islam saja melainkan negara-negara non-Islam pun sudah sudah banyak yang mendirikan pendidikan yang berbasis agama Islam.








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendidikan Islam

Secara bahasa pendidikan dapat diartikan suatu perbuatan (hal, cara ataupun sebagainya) untuk mendidik dan berarti pula pengetahuan tentang menidik atau pemeliharaan badan, bathin dan sebagainya, Namun dalam bahasa Arab, pakar pendidikan seperti Ahmad Fu’ad AL-Ahwani dan Muhammad Munir Mursyi’ umumnya menggunakan kata tarbiyah untuk mengartikan pendidikan. Dalam penggunaan kata tarbiyah ini ternyata menuai kontropersi, seperti yang dinyatakan oleh Muhammad  AL-Naquib AL-Attas yang dalam bukunya yang berjudul Konsep pendidikan islam. Dalam hal ini, ia mengatakan bahwa tarbiyah dalam konotasinya yang sekarang, merupakan istilah yang relative baru, yang bisa dikatakan telah dibuat oleh orang – orang yang mempunyai pemikiran modernis.

Kemudian pada bagian lain Al-Attas mengatakan mereka yang membuat dan mendukung  istilah tarbiyah untuk maksud pendidikan pada hakikatnya mencerminkan konsep barat tentang pendidikan. Mengingat istilah tarbiyah tidak sebagaimana mereka nyatakan adalah suatu terjemahan yang jelas dari istilah education menurut artian barat. Meskipun para penganjur penggunaan istilah tarbiyah terus membela istilah itu yang menurut mereka dikembangkan dari Al-Qur’an. Namun untuk menguatkan pendapatnya Muhammad Al-Naquib mengajukan argumentasi sebagai berikut:
Yang pertama:
Istilah tarbiyah yang di pahami dalam pengertian pendidikan, sebagaimana pengertian di masa kini, tidak bisa ditemukan dalam leksikon – leksikon bahasa Arab Besar, yang beberapa diantaranya telah kami sebutkan dalam pembahasan awal. Ibnu Manzhur memang merekam bentuk tarbiyah bersama dengan beberapa bentuk lain yang dari akar raba dan rabba, sebagaimana diriwayatkan oleh asma’I yang mengatakan bahwa istilah – istilah tersebut memuat makna yang sama. Mengenai makna al-jahuri mengatakan bahwa tarbiyah dan beberapa bentuk lain yang disebutkan oleh al-asma’I berarti member makan, memelihara, mengasuh. Makna ini mengacu pada kepada segala sesuatu yang tumbuh seperti anak – anak, tanaman dan sebagainya. Kemudian lebih lanjut AL-Attas mengatakan bahwa tarbiyah berarti mengasuh, memelihara, membuat menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang dan menjinakan. Penerapannya pada bahasa arab bukan hanya terbatas pada manusia saja dan medan – medan semantiknya meluas kepada spesies – spesies lain misalnya untuk mineral, tanaman dan hewan.orang bisa mengacu pada peternakan sapi, peternakan hewan, peternakan ayam, peternakan ikan serta perkebunan, masing – masing sebagai bentuk tarbiyah.[1]
Sedangkan pendidikan dalam islam adalah sesuatu yang khusus hanya untuk manusia dengan mengacu pada kaidah penerapan secara istilah- istilah tersebut. Kemudian istilah pendidikan islam yang diajukan AL-Attas adalah harus dibangun dari berbagai istilah yang secara substansial yang mengacu kepada pemberian pengetahuan, pengalaman, kepribadian dan sebagainya.[2]
 Selain itu pendidikan islam juga harus dari perpaduan istilah ‘ilm atau ‘allama( ilmu atau pengajaran, ‘adl(keadilan), ‘amal(tindakan), haqq(kebenaran atau ketepatan hubungan denga yang benar dengan yang nyata, nuthq(nalar), nafs(jiwa),qalb(hati). ‘aql(pikiran atau intelektual), maratib dan darajat (tatanan hirarkis), ayat (tanda-tanda dan symbol), tafsir dan ta’wil (penjelasan dan penerangan), yang secara keseluruhan istilah – istilah tersebut terkandaung dalam istilah adab.
Dari berbagai istilah yang dipadukan itu, kemudian dapat diartikan bahwa pendidikan itu adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur – angsur ditanamkan di dalam diri manusia, tentang tempat – tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan yang sedemikian rupa. Sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepriadaan.[3]
Kedua :
Bahwa makna dasar istilah tarbiyah tentunya berpuncak pada otoritasal-qur’an itu sendiri, tidak secara alami mengandung unsuur – unsure esensi pengetahuan,intelgensi dan kebijakan lainnya, yang pada hakikatnya merupakan unsure – unsure pendidikan sebenrnya[4]
 Dalam argumennya ini Naquib AL-Attas sepertinya ingin lebih spesifikasi dalam menggunakan istilah tersebut, disamping itu pakar – pakar yang lain yang menggunakan istlah tarbiyah sebagai arti pendidikan memiliki pula argumentasi yang kuat. Seperti Kurshid Ahmad berpendapat bahwa education ( pendidikan) berasal dari bahasa latin to ex (out) yang berarti keluar, dan ducare duc yang berarti mengatur, memimpin mengerahkan (to lead). Dengan demikian secara harfiyah pendidikan berarti mengumpulkan, menyampaikan informasi serta menyalurkan bakat yang pada dasarnya arti pendidikan ini berhubungan dengan konsep penyampaian informasi dan pengembangan bakat yang tersembunyi.
Abdurrahman An-Nahlwi merupakan salah satu yang setuju pula dengan penggunaan kata terbiyah untuk arti pendidikan. Dalam argumennya ia mengatakan,
”jika kita merujuk pada kamus bahas arab, kita akan menemukan tiga akar kata untuk istilah tarbiyah. Pertama raba yarbu yang artinya bertambah dan berkembang. Hal ini sejalan dengan firman allah yang artinya dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah di sisi allah. Kemudian rabiya yarba yang dibandingkan dengan khafiya yakhfa yang berarti tumbuh dang berkembang. Selanjutnya rabba-yarubbu yang dibandingkan dengan madda yamuddu yang artinya memperbaiki mengurusi kepentingan, mengatur, menjaga dan memperhatikan.”[5]
Oleh karena itu penggunaan kata tarbiyah untuk arti pendidikan merupakan pengertian yang sifatnya ijtihad. Dengan demikian tidak ada salahnya penggunaan kata tarbiyah untuk arti pendidikan yang umum. Namun jika kita menghendaki pengertian pendidikan dari segi istilah maka dapat merujuk pada berbagai sumber yang telah diberikan para pakar pendidikan. Seperti dalam undang – undang tentang system pendidikan Nasional (UU.RI NO.20 Th.1989) yang menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
Kemudian menurut Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan bathin dan karakter), pikiran (intellect) yang tumbuh anak antara satu dengan yang lainnya saling berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yakin kehiduan dan penghidupan anak – anak yang di didik selaras dengan dunianya.[6]
Dengan demikian pendidikan bisa kita artikan suatu usaha membimbing serta membina sekaligus bertanggungjawab untuk mengembangkan intelektuan anak kearah kedewasaan sehingga dapat melakukan perannya dalam kehidupan secara fungsional dan optimal. Sedangkan pengertian islam mennurut bahasa berasal dari bahasa arab yaitu aslama, yuslima aslaman yang artinya berserah diri, patuh dan tunduk. Kata aslama itu sendiri bermula dari kata salima yang berarti selamat. Jadi pendidikan islam dapat diartikan sebagai sebuah proses dalam membentuk manusia – manusia muslim agar mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan dan merealisasikan tugas dan fungsinya sebagai khalifah di bumi berdasarkan pada ajaran al-Qur’an dan Hadist.
Sedangkan mmenurut DR. Armai Arief, seperti dalam bukunya Ipengantar ilmu dan metodologi pendidikan islam, ia menyatakan pendidikan islam yaitu sebuah proses yang dilakukan untuk manciptakan manusia – manusia seutuhnya, beriman dan bertakwa serta mampu mewujudkan exsistensinya sebagai khalifah allah dimuka bumi yang berdasarkan pada ajaran al-qur’an dan sunnah.[7]
B.     Aspek – aspek Pendidikan Islam

Seperti pendidikan pada umunya pendidikan islam juga memiliki berbagai aspek yang tercakup di dalamnya. Aspek – aspek tersebut dapat dilihat dari cakupan materi didiknya, filsafatnya,sejarahnya, kelembaganya sistemnya dan dari segi kedudukannya sebagai ilmu. Dari segi aspek materi didikannya, pendidikan islam sekurang – kurangnya mencangkup pendidikan fisik, akal, agama (akidah dan syari’ah), akhlak, kejiwaan, rasa keindahan dan sosial kemasyarakatan.

1.      Aspek Materi
Berbagai macam aspek materi tersebut dapat dilihat dalam AL-Qur’an dan Al-Sunnah serta pendapat para ulama. Ada pula pendapat lain yang menyatakan bahwa materi penddikan islam itu pada prinsipnya ada dua yaitu materi didikan yang mengenai masalah dunia dan materi didikan yang mengenai atau berkenaan dengan maslah akhirat. Agar materi yang diberikan bermanfaat bagi kehidupan anak didik, hendaknya materi harus disesuikan dengan tuntunan Zaman, kesempurnaan jiwa anak didik tanpa melupakan esensi dari ajaran islam itu sendiri. Maksudnya setiap keilmuan atau materi yang diberikan tidak hanya disesuaikan dengan pembentukan seorang calon ulama tetapi juga harus melihat lembaga yang menampung lulusannya.
Relevansi prinsip yang seperti ini agaknya terhambat. Seharusnya pola pendidikan dan pola pikir serta prisip pendidikan yang seperti ini harus segera di modifkasi serta di integrasikan denga kondisi umat pada zaman sekarang, agar lulusan yang dihasilkan tepat dan benar – benar dibutuhkan masyarakat yang akhirya bisa membantu mslah ekonomi untuk dirinya, Hal ini berdasarkan anjuran ajaran islam yang mengajarkan kebagaiaan hidup di dunia dan akhirat.

2.      Aspek Tujuan
Selanjutnya aspek tujuan yang biasanya dikaitkan erat dengan pengembangan kurikulum dalam artian untuk mencapai suatu efektifitas. Maksudnya jika semakin banyak tujuan yang akan dicapai, akan mendorong efektivias yang akan dilaksanakan. Sebagai suatu rancangan, tentu aa rancangan yang dapat dicapai. Di samping itu tujuan yang akan dicapai harus jelas dan memang benar – benar sesuai dengan segala komponen yang berpengaruh terhadap pendidikan itu sendiri. Jangan sampai apa yang diajarkan dan proses pelaksanaannya sangat berbeda dengan tujuan yag diharapkan.

3.      Aspek Lembaga

Kemudian aspek lembaga  yang merupakan pihak yang mengelola suatu pendidikan, namun banyak orang berasumsi bahwa mengelola pendidikan agama tidak perlu mendapatkan perhatian dan penanganan khusus. Hal ini karena outputnya kurang dapat diandalkan untuk berkomptensi di masyarakat jika dibandingkan dengan output lembaga pendidikan lain. Secara administrative lembaga pendidikan islamyang benar – benar menerapkan manjemen pendidikan dengan baik sangat jarang sekali. Salah satu hal yang berkaitan dengan lembaga pendidikan adalah lingkungan pendidikan yang menjadi salah satu sarana sesorang anak dapat mendapatkan pendidikan yang baik.

4.      Aspek Sejarah

Selanjutnya dilihat dari segi sejarahnya atau periodenya, pendidikan islam terbagi sebagai berikut:
a)      Periode pembinaan islam yang berlangsung pada zaman nabi Muhammad SAW. masa ini berlangsug sejak nabi Muhammad SAW menerima wahyu dan menerima pengangkatannya sebagai rasul, Sampai dengan lengkap dan sempurnanya ajaran islam menjadi warisan budaya umat islam. Masa ini berlangsung kurang lebih selama 23 tahun, yaitu bermula ketika nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama kali pada tangal 17 bulan Ramadhan sebelum HIjriyah yang bertepatan dengan tanggal 6 agustus 610 M, sampai dengan wafatnya rasulallah SAW yaitu pada tangga 12 Rabi’ul Awwal, tahun 11 hijriyah yang bertepatan dengan 8 juni 832 M.

Nabi Muhammad Rasulullah SAW diberikan wahyu (AL-Qur’an) sebagai petunjuk dan pengajaran kepada seluruh umat manusia untuk mengabdi kepada allah SWT, sehingga pendidikan dan mengajarkan yang menitikberatkan kepada nilai keagamaan dan akhlak serta menganjurkan manusia menggunakan akal pikirannya memperhatikan kejadian makhluk hidup dan lingkungannya. Nabi Muhammad SAW ketika memberikan penjelasan tentang Al-Qur’an kepada sahabat dengan cara langsung karena nabi Muhammad tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis.

Kemudian para sahabatpun mengahafalnya dengan bimbingan rasulullah, selain itu para sahabat yang pandai menulis juga diminta untuk menulis wahyu – wahyu itu pada media kayu, batu, kulit,kain dan sebagainya. “During the prophet's lifetime, paper was yet to be known in arabia continents, although it had been found and used in china. due to his illiteracy, once the prophet received a revelation from god Through Angel Gabriel, he would convey it right away to his companionsthen memorized in under a guidance of the prophet. those companions who were also able to wraite, were also asked to record it o writing media such as woods, stones,clothes.leather etc”[8]

Kemudian dalam menyiarkan pendidikan agama islam rasulallah SAW. berpidato di depan khalayak ramai sambil membacakan ayat – ayat Al-Qur’an yang berisi petunjuk peribadahan kepada allah swt, dalam hal ii rasulallah menggunakan metode ceramah. Disamping itu rasulallah SAW juga manganjurkan kepada laki – laki dan perempuan untuk belajar guna memberantas buta huruf atau kestidak tahuan. Sebagaimana sebuah hadist yang artinya “menuntut ilmu adalah wajib bagi pri dan wanita muslim ( HR. Bukhari Muslim)[9]

b)      Periode pertumbuhan pendidikan islam yang berlangsung sejak zaman nabi Muahammad SAW wafat sampai masa akhir Bani Ummayah yang diiringi dengan erkembangan ilmu – ilmu Naqliyah, pada masa perkembangan dan pertumbuhanya itu, pendidikan islam mempunyai dua sasaran. Pertama, yaitu generasi muda sebagai generasi penerus dan masyarakat bangsa lain yang belum pernah mendapatkan ajaran islam, dan kedua adalah penyampaian ajaran islam dan usaha internelisasi dalam masyarakat bangsa yang baru menerima yang di dalam islam lazim disebut dakwah islam. Pada masa ini pendidikan Islam sekolah masih di masjid-masjid dan rumah-rumah dengan ciri hafalan namun sudah dikenalkan logika
c)      Periode kejayaan ( puncak perkembangan) pendidikan islam, yang berlangsung sejak permualaan daulah Abbasyiah samapai dengan jatuhnya Baghdad, yang diwarnai dengan perkembangan ilmu aqliyah dan timbulnya madrasah yang kemudian memuncaknya kebudayaan islam. Sekolah-sekolah didirikan di kota-kota dan mulai menempati gedung-gedung besar dan mulai bergeser dari matakuliah yang bersifat spiritual ke matakuliah yang bersifat intelektual, ilmu alam dan ilmu sosial. Berdirinya sistem madrasah justru menjadi titik balik kejayaan. Sebab madrasah dibiayai dan diprakarsai negara. Kemudian madrasah menjadi alat penguasa untuk mempertahankan doktrin-doktrin terutama oleh kerajaan Fatimah di Kairo. Dan ada beberapa kota yang menjadi pusat kajian Islam di zamannya, yakni Nisyapur, Baghdad, Kairo, Damaskus, dan Jerussalem. Ada empat perguruan tinggi tertua di dunia Muslim yakni: (1) Nizhamiyah di Baghdad, (2) al-Azhar di Kairo Mesir, (3) Cordova, dan (4) Kairwan Amir Nizam al-Muluk di Maroko
d)     Periode kemunduran pendidikan islam yaitu sejak jatuhnya Baghdad sampai jatuhnya mesir ke tangan napoleon, yang di tandai dengan runtungnya sendi  sendi kebudayaan islam dan berpindahnya pusat –pusat pengembangan kedunia barat.
Penyebab utama kemunduran dunia muslim khususnya di bidang ilmu pengetahuan adalah terpecahnya kekuatan politik yang digoyang oleh tentara bayaran Turki. Kemudian dalam kondisi demikian datang musuh dengan membawa bendera perang salib. Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan ketika itu dihancurkan Hulaghu Khan 1258 M. Pusat-pusat studi termasuk yang dihancurkan Hulaghu.
e)      Periode pembaharuan pendidikan islam yang berlangsung semenjak pendudukan mesir oleh napoleon sampai masa kini, yang di tandai dengan gejala – gejala kebangkitan kembali umat dan budaya islam.
Selain kita mengetahui sejarah perkembangan studi islam di timur kita juga perlu mengetahui bagaimana perkembangan di dunia barat. Pendidikan islam di dunia Barat (Eropa) dapat dikelompokkan menjadi dua fase, yakni: (1) di masa kejayaan Islam (abad ke 8 M) kalau melihat Spanyol adalah abad 13 M, dan (2) di masa renaissance / runtuhnya muslim, dimana Barat yang berjaya (selama abad ke 16 M) sampai sekarang.
Fase Kejayaan Muslim
Seperti terungkap ketika membahas sejarah perkembangan studi Islam di dunia Muslim, bahwa kontak pertama antara dunia Barat dengan dunia muslim adalah lewat kontak perguruan tinggi. Bahwa sejumlah ilmuan dan tokoh-tokoh barat datang di perguruan tinggi muslim untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dunia Islam belahan timur, perguruan tinggi tersebut berkedudukan di Baghdad dan di Kairo, sementara di belahan barat ada di Cordova.
Bentuk lain dari kontak dunia muslim dengan dunia barat pada fase pertama adalah penyalinan manuskrip-manuskrip ke dalam bahasa latin sejak abad ke-13 M hingga bangkitnya zaman kebangunan (renaissance) di Eropa pada abad ke-14.
Berkat penyalinan karya-karya ilmiah dari manuskrip-manuskrip Arab itu, terbukalah jalan bagi perkembangan cabang-cabang ilmiah tersebut di Barat. Apalagi sesudah aliran empirisme yang dikumandangkan oleh Francis Bacon menguasai alam pikiran di Barat dan berkembangnya observasi dan eksperimen.
Setelah ilmu-ilmu yang dahulunya dikembangkan muslim masuk ke Eropa dan dikembangkan oleh sarjana-sarjana Barat, dirasakan banyak tidak sejalan dengan Islam. Misalkan dirasakan dirasuki oleh paham sekuler dan sejenisnya. Karena itu, beberapa ilmuan melakukan usaha pembersihan.
Fase Renaissance / Runtuhnya Muslim
Uraian berikut adalah gambaran kontak muslim dengan dunia barat pada periode kedua yang berlangsung selama abad renaissance. Selama abad renaissance Eropa menguasai dunia untuk mencari mata dagangan, komersial, dan penyebaran agama.
Kedatangan muslim fase kedua ke dunia barat, khususnya eropa barat dilatar belakangi oleh dua alasan pokok, yakni: (1) alasan politik dan (2) alasan ekonomi. Alasan politik adalah kesepakatan kedua negara, yang satu sebagai bekas penjajah, sementara yang satunya sebagai bekas jajahan. Misalnya Perancis mempunyai kesepakatan dengan negara bekas jajahannya, bahwa penduduk bekas jajahannya boleh masuk ke Perancis tanpa pembatasan. Maka berdatanglah muslim dari Afrika Barat dan Afrika Utara, khuusnya dari Algeria ke Perancis. Adapun alasan ekonomi adalah untuk mencukupi tenaga buruh yang dibutuhkan negara-negara Eropa Barat.
 Untuk menutupi kebutuhan itu Belgia, Jerman, Belanda merekrut buruh dari Turki, Maroko, dan beberapa negara Timur Tengah lainnya, sementara Inggris mendatangkan dari negara-negara bekas jajahannya. Adapun kategori Muslim yang ada di Eropa Barat ada dua, yakni pendatang (migran) dan penduduk asli.
Kemudian dilihat dari segi kelembagaannya pendidikan islam mengenal adanya pendidikan yang dilaksanakan dirumah, masjid, pesantren dan madrasah dengan berbagai corak dan pendekatanya. Lembaga – lembaga islam inidapat dibagi lagi sesuai dengan periodesasinya, yaitu lembaga pendidikan pada zaman Rasulullah SAW, lembaga pendidikan pada masa Khhulafaur Rasyidin, lembaga pendiikan di zaman Umayyah, dan lembaga pendidikan di Zaman Abbasyiah dan Andalusia.

C.    Model Penelitian Studi Islam
Dilihat dari segi objeknya, studi islam dibagi menjadi tiga bagian yang diantaranya adalah: Pertama, Pengetahuan ilmu, yaitu pengetahuan mengenai hal-hal yang empiris melalui metode penelitian ilmiah. Kebenaran dan kesalahannya dapat diukur dengan logis dan empiris. Kedua, Pengetahuan filsafat, yaitu pengetahuan yang objeknya bersifat abstrak logis, metode penelitiannya dari akal pikiran (logika). Kebenaran dan kesalahannya dapat diukur dengan logika. Ketiga, Pengetahuan mistik, yaitu pengetahuan yang objeknya abstrak dan supra logis (tidak bersifat empiris, metode penelitiannya melalui supra rasional. Kebenaran dan kesalahannya dapat diukur dengan keyakinan dan terkadang empiris. Untuk mengetahui penelitian dari poin ketiga ini, kita dapat dirasakan melalui pengetahuan batin atau cara-cara yang lainnya.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka pengetahuan filsafat dan tasawuf merupakan bukan ilmu karena kedua pengetahuan tersebut tidak bersifat empiris dan juga tidak memiliki cirri-ciri ilmiah. Dalam hal ini, studi Islam cakupannya ialah masalah-masalah yang objeknya bersifat logis dan empiris tentang pendidikan.[10]
Dengan demikian, metode penelitian studi islam ini mencakup pengetahuan filsafat studi Islam, pengetahuan mistik studi Islam, dan ilmu studi Islam. Dalam hal ini kajian yang berdasarkan logika (filsafat) dan keyakinan (mistik) telah banyak dipakai oleh para ulama Islam, salah satunya: Mohammad Al-Toumy Al-Syaibani yang karyanya berjudul Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah yang diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan judul falsafah Pendidikan Islam yang diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta, 1979.
Sementara itu, dalam pengetahuan mistik dilakukan oleh Al-Ghazali yang karyanya berjudul Ihya’ Ulum al-Din yang kemudian diteliti oleh Fathiyah Hasan Fahmi dalam bukunya yang berjudul Sistem Pendidikan versi al-Ghazali, yang diterjemahkan oleh Fathur Rahman May dan Syamsuddin Asyrafani dari judul al-Madzhabut Tarbawi ‘ind al-Gkazali, diterbitkan oleh al-Ma’arif, Bandung: 1986.
Dari penelitian studi Islam (sains yang empiris), maka mucul teori-teori selanjutnya yang disesuaikan dengan ajaran islam. Dalam pengembangan Ilmu studi Islam  tidak hanya mencakup bagaimana cara pengembangan filsafat studi Islam dan manual studi islam saja, melainkan berdasarkan teori studi Islam pada masa pra-natal, teori studi Islam bagi anak di rumah tangga, teori studi Islam bagi remaja di rumah tangga dan lain sebagainya (menurut Ahmad Tafsir). Selain itu, teori studi Islam dimasyarakat pun banyak bentuknya, misalnya penelitian tentang teori di pesantren biasa, teori studi untuk di pesantren kilat, di majelis ta’lim, khutbah, kursus-kursus dan sebagainya.[11] 
Penelitian Ilmu Studi diatas dapat diarahkan pada aspek-aspek yang terkandung didalamnya, misalnya penelitian terhadap problematika yang dihadapi guru, penelitian cara memperbaiki tingkah laku guru dalam mengajar, dan penelitian terhadap peranan kepala sekolah dalam memperlancar pembaharuan pendidikan.
Dalam hal ini, ada beberapa model penelitian mengenai Studi Islam  yang akan dijelaskan dibawah ini, yaitu sebagai berikut:
1.      Model Penelitian tentang Problematika Guru
Dalam penelitian iniyang perlu dilakukan dalam penelitian problematika guru yaitu dengan cara pengumpulan data yang dilakukan oleh bagian Himpunan Pendidikan Nasional Penelitian (National Education Association) melalui survey para guru (opinion survey for teacher).
Dengan kata lain, metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan penelitian survey, yaitu melalui pengumpulan data-data dilapangan melalui kuesioner yang sampelnya mewakili tingkat nasional serta objek yang ditelitinya adalah probem-problem yang dihadapi oleh para guru.
Dari penelitian diatas, hasil  yang diperoleh yaitu ada 5 faktor yang mendasari problemtika para guru, yang diantaranya:
a.       Sedikitnya waktu untuk istirahat dan untuk persiapan pada waktu dinas disekolah
b.      Ukuran kelas yang terlalu besar
c.       Kurangnya bantua  administrative
d.      Gaji yang kurang memadai
e.       Kurangnya bantuan kesejahteraan

2.      Model penelitian tentang Lembaga Pendidikan Islam
Menurut Karel A. Steenbrink metode yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu melalui pengamatan (observasi). Sedangkan objek pengamatannya adalah pesantren-pesantren yang ada di pulau Jawa dan Sumatera yang memakan waktu cukup lama yaitu selama 8 bulan.[12]
Selain itu, Karel melakukan analisis kembali dan membandingkannya antara Malaysia dan Indonesia. Beliau mengatakan pesantren-pesantren di Indonesia memberikan pendidikan islam sesuai dengan zamannya, sedangkan di Malaysia memberikan pendidikannya kurang bisa menyesuaikannya dengan zaman yang sekarang. Hal seperti inilah yang menjadi perbedaan dalam dibidang pendidikan yang mamiliki corak yang khas antara Malaysia dan Indonesia.
Selain itu, Karel mengatakan bahwa sejak permulaan tahun 1970-an organisasi Islam melepaskan diri dari politik dan partai karena lebih mementingkan cita asli sebagai organisasi Islam yang bergerak dibidang dakwah dan pendidikan Islam.
Dapat kita simpulkan dari penelitian diatas bahwa analisis tersebut diambil dari data-data sejarah dan keadaan-keadaan dalam dunia pesantren diberbagai daerah.

3.      Model Penelitian Kultur Pendidikan Islam
Model penelitian ini mengambil objek kajiannya mengenai kultur pendidikan di pesantren yang dilakukan oleh Mastuhu dan zamakhsyari Dhofir.
a.       Model Penelitian Mastuhu
Penelitian dengan model yang dilakukan Mastuhu pada saat menulis unuk program Doktornya. Penelitian  ini berjudulkan Dinamika Sisem Pendidikan Pesantren yang diterbitkan oleh Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studiespada tahun 1994.
Dalam penelitian tersebut, mastuhu mengatakan bahwa Islam di Indonesia ini perannya tidak mampu memberikan penjelasan mengenai pedoman bagi pemeluk agama Islam untuk berpartisiasi dalam pembangunan nasional. Untuk mencapai itu semua, mastuhu berpendapat bahwa harus adanya perubahan dalam pemikiran islam, yaitu dengan memahami dan mendalami ajaran Islam sesuai dengan realitas sosial. Khususnya dalam pesantren yang menjadi pusat studi pembaharuan pemikiran dalam Islam.[13]
Dilihat dari segi metodenya, penelitian ini menggunakan metode yang mendasar pada analisis data yang fakta pada setiap pesantren. Hal ini menunjukan bahwa penelitian ini memiliki wawasan, pengalaman, keterampilan.
b.      Model Penelitian Zamakhsyari Dhofir
Model penelitian yang dilakukan oleh Zamakhsyari Dhofir ini masih tetap disekitara pesantren. Penelitian yang dilakukannya ini berjudul Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai yang diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 1982.
Model penelitian yang dilakukan oleh Zamakhsyari Dhofir menggunakan metode survey, pengamatan, wawancara, dan studi dokumentasi di lapangan yang dilakukan pada pesantren di Jawa tengah dan Jawa Timur yang menjadi wakil dari setiap pesantren. Dalam hal ini, pembahasannya bersifat deskriptif, sedangkan analisisnya menggunakan pendekatan sosiologi.
D.    Pertumbuhan Studi Islam di Dunia
Pendidikan Islam pada zaman awal dilakukan pada masjid-masjid. Mahmud Yunus mengemukakan bahwa pusat-pusat stui Islam klasik yaitu di Mekah dan Madinah (Hijaz), Basrah dan Kufah (Irak), Damaskus dan Palestina (Syam) dan Fistat (Mesir).[14]
Pada zaman kejayaan Islam, studi Islam dipusatkan pada Ibukota Negara yaitu Bagdad.  Di Istana Dinasti Bani Abbas pada zaman al-Makmun (813-833), putra Harun al-Rasyid, mendirikan lembaga pendidikan Bait al-Hikmah. Selain itu, Nizham al-Muluk juga mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang bernama Madrasah Nizhamiah. Disamping itu, di Eropa yang dipusatkan pada kota Spanyol yang mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang bernama Universitas Cordova yang didirkan oleh Abd al-Rahman III (Umayah).[15]
Studi Islam pada zaman sekarang telah berkembang dan hampir seluruh negara di dunia, baik itu negara Islam maupun bukan negara Islam. Di dunia Islam terdapat pusat-pusat studi Islam, seperti Universitas al-Azhar di Mesir, Universitas Ummul Qura di Arab Saudi, Universitas Teheran di Teheran. Pada Universitas Teheran ini, studi Islam dilakukan dalam satu fakultas yang disebut dengan Kulliyat Ilahiyyat (Fakultas Agama). Selain itu ada juga Universitas Damaskus (Siria), dalam universitas ini studi Islam dilakukan dalam satu fakultas yang disebut dengan Kulliyat al-Syari’ah (Fakultas  Syari’ah) yang didalamnya terdapat program studi ushuluddin, tasawuf dan lain-lain.
Perkembangan studi Islam di Indonesia dapat digambarkan demikian. Bahwa lembaga / sistem pendidikan islam di Indonesia mulai dari sistem pendidikan langgar, kemudian sistem pesantren, kemudian berlanjut dengan sistem pendidikan di kerajaan-kerajaan Islam, akhirnya muncul sistem kelas. Maksud pendidikan dengan sistem langgar adalah pendidikan yang dijalankan di langgar, surau, masjid atau di rumah guru. Kurikulumnya pun bersifat elementer, yakni mempelajari abjad huruf arab.
 Dengan sistem ini dikelola oleh ‘alim, mudin, lebai. Mereka ini umumnya berfungsi sebagai guru agama atau sekaligus menjadi tukang baca do’a. pengajaran dengan sistem langgar ini dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan sorongan, yakni seorang murid berhadapan secara langsung dengan guru dan bersifat perorangan. Kedua, adalah dengan cara halaqah, yakni guru dikelilingi oleh murid-murid.
Adapun sistem pendidikan di pesantren, dimana seorang kyai mengajari santri dengan sarana masjid sebagai tempat pengajaran / pendidikan dan didukung oleh pondok sebagai tempat tinggal santri. Di pesantren juga berjalan dua cara yakni sorongan dan halaqah. Hanya saja sorongan di pesantren biasanya dengan cara si santri yang membaca kitab sementara kyai mendengar sekaligus mengoreksi jika ada kesalahan.
Sistem pengajaran berikutnya adalah pendidikan dikerajaan-kerajaan Islam, yang dimulai dari kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Adapun materi yang diajarkan di majlis ta’limdan halaqah di kerajaan pasai adalah fiqh mazhab al-Syafi’i. Pada akhir abad ke 19 perkembangan pendidikan Islam di Indonesia mulai lahir sekolah model Belanda: sekolah Eropa, sekolah Vernahuler. Sekolah khusus bagi ningrat Belanda, sekolah Vernahuler khusus bagi warga negara Belanda.
 Di samping itu ada sekolah pribumi yang mempunyai sistem yang sama dengan sekolah-sekolah Belanda tersebut, seperti sekolah Taman Siswa. Kemudian dasawarsa kedua abad ke 20 muncul madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah model Belanda oleh organisasi Islam seperti Muhammadiyah, NU, Jama’at al-Khair, dan lain-lain. Pada level perguruan tinggi dapat digambarkan bahwa berdirinya perguruan tinggi Islam tidak dapat dilepaskan dari adanya keinginan umat Islam Indonesia untuk memiliki lembaga pendidikan tinggi Islam sejak zaman kolonial.
Pada bulan April 1945 diadakan pertemuan antara berbagai tokoh organisasi Islam, ulama, dan cendekiawan. Setelah persiaapan cukup, pada tanggal 8 Juli 1945 atau tanggal 27 Rajab 1364 H bertepatan dengan Isra’ dan Mi’raj diadakan acara pembukaan resmi Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Dari sinilah sekarang kita mengenal UII, IAIN, UIN, STAIN dsb. Yang bermula 14 Institut dan 39 Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN). Selain itu ada juga perguruan tinggi swasta yang khusus menyelanggarakan pendidikan tinggi Islam yang salah satu bagian studinya, seperti Fakultas Agama di Universitas Muhammadiyah di Jakarta dan Universitas Islam Bandung (UNISBA).

Studi Islam di negara-negara non-Islam yaitu diantaranya di negara India tepatnya di Aligarch University, studi Islam dibagi menjadi dua: Fakultas Ushuluddin yang di dalamnya terdapat jurusan Mazhab Ahli Sunnahdan jurusan Mazhab Syiah yang mengkaji Islam sebagai doktrin. Sedangkan Fakultas Humaniora dalam jurusan Islamic Studies yang mengkaji Islam dari segi aspeknya.
Di Chicago, kajian Islam diselenggarakan  di Chicago University, studi ini berada di bawah pusat studi Timur Tengah dan Jurusan Bahasa, dan Kebudayaan Timur dekat . pada lembaga ini, kajian Islam lebih mengutamakan kajian tentang pemikiran Islam, bahasa Arab, naskah-naskah klasik, dan bahasa bahasa Islam non-Arab.
Sedangkan di Amerika, studi-studi Islam pada umumnya mengutamakan studi sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam selain bahasa Arab, sastra dan ilmu-ilmu sosial. Studi Islam di Amerika berada dibawah naungan Pusat Studi Timur Tengah.[16]   

E.     Tujuan Pendidikan Islam
Secara umum, tujuan pendidikan islam terbagi kepada beberapa macam :
1.      Tujuan umum
Tujuan umum adalah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan baik dengan pengajaran ataupun dengan cara yang lain.
2.      Tujuan sementara
Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi pengalaman tertentu yag direncanakan dalam sebuah kurikulum
3.      Tujuan akhir
Tujuan akhir adalah tujua yang dikendaki agar peserta didik menjadi manusia – manusia sempurna setelah ia menghabisi sisa umurnya
4.      Tujuan oprasional
Tujuan oprasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu.
Namun menurut Abdurrahman Saleh Abdullah, ia mengatakan pendidikan islam bertujuan untuk membentuk kepribadian sebagai khalifah Allah SWT, sekurang – kurangya mempersiapkan ke jalan yang mengacu kepada tujuan akhirat[17]
















BAB III
Kesimpulan

Pendidikan islam adalah suatu usaha membimbing serta membina sekaligus bertanggungjawab untuk mengembangkan intelektual anak ke arah kedewasaan sehingga dapat melakukan perannya dalam kehidupan secara fungsional dan optimal. Pendidikan islam bertujuan untuk membentuk kepribadian sebagai khalifah Allah SWT, sekurang – kurangnya mempersiapkan ke jalan yang mengacu kepada tujuan akhirat. Pendidikan studi islam juga pernah berkembang berjaya tak hanya di dunia timur tapi di barat juga

















Daftar Pustaka

Abd. Hakim, Atang, MA, Drs dan Mubarok, Jaih, Dr. 2000. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Abuddin. Nata,2009. Metodologi studi islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persadap
Arief. Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: CiputatPers
Power. David. 1986. Studies  in Qur’an and Hadith. London: University of californi perss
Al-Qara Daghi. Muhieddin.ali. 1997. The Islamic Creed. Marocco:ISECO


[1] Natta abuddin,metodologi study islam,hlm. 335
[2] Ibid.,hlm. 336
[3] Ibid,. hlm. 337
[4] Syed.muhammad al-naqa’ib al-attas, konsep pendidikan dalam islam hlmn 65
[5] Natta abuddin,metodologi study islam,hlm. 337
[6] Ibid,. hlm. 338

[7] Armai Arief, pengantar ilmu pendidikan dan metodologi pendidikan islam.hlm.16
[8] Understanding the Qur’n. iwan sudrajat.hlm 3
[9] Lihat, Armai arif, pengantar ilmu dan metodologi pendidikan islam ( Jakarta,Ciputat Pers,2002).hlm42
[10] Ahmad Tafsir, Peta penelitian Pendidikan Islam, dalam Ahmad Tafsir (ed.),  Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati, 1995), hal. 95
[11] Ibid, hal. 97-99
[12] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, dan Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Waktu Modern, (Jakarta: LP3ES, 1986), cet. I, hal. xiii
[13] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hal. 4
[14] Zaini Muchtaram, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1986) , hal. 71
[15] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, cet. I (Jakarta: UI-press),  hal. 68
[16] Drs. Atang Abd. Hakim, MA dan Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, cet. 2 (Bandung: Rosda, 2000) hal. 9
[17] Armai Arief, pengantar ilmu pendidikan dan metodologi pendidikan islam.hlm.19