BAB I
PENDAHULUAN
Agama Islam
sebenarnya belum sepenuhnya dipahami dan dihayati oleh seluruh umat Islam itu
sendiri. Oleh karena itu dalam studi Islam harus mengubah dalam pemahaman dan
penghayatan keislaman masyarakat yang beragama Islam baik itu secara khusus
maupun secara umum.
Dalam hal ini,
dengan adanya studi Islam ini umat Islam diharapkan dapat melahirkan suatu
pemahaman yang dapat melakukan perbaikan baik itu secara intern (mencari jalan
keluar dari konflik intra-agama Islam) maupun ekstern. Selain itu dengan adanya
studi Islam ini diharapkan melahirkan suatu masyarakat yang siap untuk
bertoleransi terhadap sesama baik itu sesama muslim maupun non-muslim.
Dalam hal ini,
kelompok kami akan membahas mengenai Metode Penelitian Sejarah Studi Islam yang
menggambarkan pendidikan Islam dari masa Islam periode klasik (zaman dahulu)
hingga Islam periode modern (sekarang). Yang mana Pendidikan Islam ini telah
ada sejak dahulu kala yang awal mulanya dilaksanakan dimasjid-masjid, namun
pada zaman sekarang telah banyak lembaga-lembaga yang mendirikan pendidikan
Islam baik itu berbentuk perguruan tinggi ataupun swasta. Studi Islam ini tidak
hanya terdapat di negara-negara Islam saja melainkan negara-negara non-Islam
pun sudah sudah banyak yang mendirikan pendidikan yang berbasis agama Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Islam
Secara
bahasa pendidikan dapat diartikan suatu perbuatan (hal, cara ataupun
sebagainya) untuk mendidik dan berarti pula pengetahuan tentang menidik atau
pemeliharaan badan, bathin dan sebagainya, Namun dalam bahasa Arab, pakar
pendidikan seperti Ahmad Fu’ad AL-Ahwani dan Muhammad Munir Mursyi’ umumnya
menggunakan kata tarbiyah untuk mengartikan pendidikan. Dalam penggunaan kata
tarbiyah ini ternyata menuai kontropersi, seperti yang dinyatakan oleh
Muhammad AL-Naquib AL-Attas yang dalam
bukunya yang berjudul Konsep pendidikan
islam. Dalam hal ini, ia mengatakan bahwa tarbiyah dalam konotasinya yang
sekarang, merupakan istilah yang relative baru, yang bisa dikatakan telah
dibuat oleh orang – orang yang mempunyai pemikiran modernis.
Kemudian
pada bagian lain Al-Attas mengatakan mereka yang membuat dan mendukung istilah tarbiyah untuk maksud pendidikan pada
hakikatnya mencerminkan konsep barat tentang pendidikan. Mengingat istilah
tarbiyah tidak sebagaimana mereka nyatakan adalah suatu terjemahan yang jelas
dari istilah education menurut artian barat. Meskipun para penganjur penggunaan
istilah tarbiyah terus membela istilah itu yang menurut mereka dikembangkan
dari Al-Qur’an. Namun untuk menguatkan pendapatnya Muhammad Al-Naquib
mengajukan argumentasi sebagai berikut:
Yang
pertama:
Istilah
tarbiyah yang di pahami dalam pengertian pendidikan, sebagaimana pengertian di
masa kini, tidak bisa ditemukan dalam leksikon – leksikon bahasa Arab Besar,
yang beberapa diantaranya telah kami sebutkan dalam pembahasan awal. Ibnu
Manzhur memang merekam bentuk tarbiyah bersama dengan beberapa bentuk lain yang
dari akar raba dan rabba, sebagaimana diriwayatkan oleh asma’I yang mengatakan
bahwa istilah – istilah tersebut memuat makna yang sama. Mengenai makna
al-jahuri mengatakan bahwa tarbiyah dan beberapa bentuk lain yang disebutkan
oleh al-asma’I berarti member makan, memelihara, mengasuh. Makna ini mengacu
pada kepada segala sesuatu yang tumbuh seperti anak – anak, tanaman dan
sebagainya. Kemudian lebih lanjut AL-Attas mengatakan bahwa tarbiyah berarti
mengasuh, memelihara, membuat menjadikan bertambah dalam pertumbuhan,
membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang dan menjinakan.
Penerapannya pada bahasa arab bukan hanya terbatas pada manusia saja dan medan
– medan semantiknya meluas kepada spesies – spesies lain misalnya untuk mineral,
tanaman dan hewan.orang bisa mengacu pada peternakan sapi, peternakan hewan,
peternakan ayam, peternakan ikan serta perkebunan, masing – masing sebagai
bentuk tarbiyah.[1]
Sedangkan
pendidikan dalam islam adalah sesuatu yang khusus hanya untuk manusia dengan
mengacu pada kaidah penerapan secara istilah- istilah tersebut. Kemudian istilah pendidikan islam yang
diajukan AL-Attas adalah harus dibangun dari berbagai istilah yang secara
substansial yang mengacu kepada pemberian pengetahuan, pengalaman, kepribadian
dan sebagainya.[2]
Selain itu pendidikan islam juga harus dari
perpaduan istilah ‘ilm atau ‘allama( ilmu atau pengajaran, ‘adl(keadilan),
‘amal(tindakan), haqq(kebenaran atau ketepatan hubungan denga yang benar dengan
yang nyata, nuthq(nalar), nafs(jiwa),qalb(hati). ‘aql(pikiran atau intelektual),
maratib dan darajat (tatanan hirarkis), ayat (tanda-tanda dan symbol), tafsir
dan ta’wil (penjelasan dan penerangan), yang secara keseluruhan istilah –
istilah tersebut terkandaung dalam istilah adab.
Dari
berbagai istilah yang dipadukan itu, kemudian dapat diartikan bahwa pendidikan
itu adalah pengenalan dan pengakuan yang
secara berangsur – angsur ditanamkan di dalam diri manusia, tentang tempat –
tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan yang
sedemikian rupa. Sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat
tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepriadaan.[3]
Kedua
:
Bahwa makna dasar istilah tarbiyah
tentunya berpuncak pada otoritasal-qur’an itu sendiri, tidak secara alami
mengandung unsuur – unsure esensi pengetahuan,intelgensi dan kebijakan lainnya,
yang pada hakikatnya merupakan unsure – unsure pendidikan sebenrnya[4]
Dalam argumennya ini Naquib AL-Attas
sepertinya ingin lebih spesifikasi dalam menggunakan istilah tersebut,
disamping itu pakar – pakar yang lain yang menggunakan istlah tarbiyah sebagai
arti pendidikan memiliki pula argumentasi yang kuat. Seperti Kurshid Ahmad
berpendapat bahwa education (
pendidikan) berasal dari bahasa latin to ex
(out) yang berarti keluar, dan ducare duc
yang berarti mengatur, memimpin mengerahkan (to lead). Dengan demikian secara
harfiyah pendidikan berarti mengumpulkan, menyampaikan informasi serta
menyalurkan bakat yang pada dasarnya arti pendidikan ini berhubungan dengan konsep
penyampaian informasi dan pengembangan bakat yang tersembunyi.
Abdurrahman
An-Nahlwi merupakan salah satu yang setuju pula dengan penggunaan kata terbiyah
untuk arti pendidikan. Dalam argumennya ia mengatakan,
”jika kita merujuk pada kamus bahas
arab, kita akan menemukan tiga akar kata untuk istilah tarbiyah. Pertama raba
yarbu yang artinya bertambah dan berkembang. Hal ini sejalan dengan firman
allah yang artinya dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah di sisi allah.
Kemudian rabiya yarba yang dibandingkan dengan khafiya yakhfa yang berarti
tumbuh dang berkembang. Selanjutnya rabba-yarubbu yang dibandingkan dengan
madda yamuddu yang artinya memperbaiki mengurusi kepentingan, mengatur, menjaga
dan memperhatikan.”[5]
Oleh
karena itu penggunaan kata tarbiyah untuk arti pendidikan merupakan pengertian
yang sifatnya ijtihad. Dengan demikian tidak ada salahnya penggunaan kata
tarbiyah untuk arti pendidikan yang umum. Namun jika kita menghendaki pengertian
pendidikan dari segi istilah maka dapat merujuk pada berbagai sumber yang telah
diberikan para pakar pendidikan. Seperti dalam undang – undang tentang system
pendidikan Nasional (UU.RI NO.20 Th.1989) yang menyatakan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar untk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
Kemudian
menurut Bapak Pendidikan Nasional, Ki
Hajar Dewantara, mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan
pertumbuhan budi pekerti (kekuatan bathin dan karakter), pikiran (intellect)
yang tumbuh anak antara satu dengan yang lainnya saling berhubungan agar dapat
memajukan kesempurnaan hidup yakin kehiduan dan penghidupan anak – anak yang di
didik selaras dengan dunianya.[6]
Dengan
demikian pendidikan bisa kita artikan suatu usaha membimbing serta membina
sekaligus bertanggungjawab untuk mengembangkan intelektuan anak kearah
kedewasaan sehingga dapat melakukan perannya dalam kehidupan secara fungsional
dan optimal. Sedangkan pengertian islam mennurut bahasa berasal dari bahasa
arab yaitu aslama, yuslima aslaman
yang artinya berserah diri, patuh dan tunduk. Kata aslama itu sendiri bermula dari kata salima yang berarti selamat.
Jadi pendidikan islam dapat diartikan sebagai sebuah proses dalam membentuk
manusia – manusia muslim agar mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya
untuk mewujudkan dan merealisasikan tugas dan fungsinya sebagai khalifah di
bumi berdasarkan pada ajaran al-Qur’an dan Hadist.
Sedangkan
mmenurut DR. Armai Arief, seperti dalam bukunya Ipengantar ilmu dan metodologi
pendidikan islam, ia menyatakan pendidikan islam yaitu sebuah proses yang dilakukan untuk manciptakan manusia – manusia
seutuhnya, beriman dan bertakwa serta mampu mewujudkan exsistensinya sebagai
khalifah allah dimuka bumi yang berdasarkan pada ajaran al-qur’an dan sunnah.[7]
B. Aspek – aspek Pendidikan Islam
Seperti
pendidikan pada umunya pendidikan islam juga memiliki berbagai aspek yang
tercakup di dalamnya. Aspek – aspek tersebut dapat dilihat dari cakupan materi
didiknya, filsafatnya,sejarahnya, kelembaganya sistemnya dan dari segi
kedudukannya sebagai ilmu. Dari segi
aspek materi didikannya, pendidikan islam sekurang – kurangnya mencangkup
pendidikan fisik, akal, agama (akidah dan syari’ah), akhlak, kejiwaan, rasa
keindahan dan sosial kemasyarakatan.
1.
Aspek
Materi
Berbagai
macam aspek materi tersebut dapat
dilihat dalam AL-Qur’an dan Al-Sunnah serta pendapat para ulama. Ada pula
pendapat lain yang menyatakan bahwa materi penddikan islam itu pada prinsipnya
ada dua yaitu materi didikan yang mengenai masalah dunia dan materi didikan
yang mengenai atau berkenaan dengan maslah akhirat. Agar materi yang diberikan
bermanfaat bagi kehidupan anak didik, hendaknya materi harus disesuikan dengan
tuntunan Zaman, kesempurnaan jiwa anak didik tanpa melupakan esensi dari ajaran
islam itu sendiri. Maksudnya setiap keilmuan atau materi yang diberikan tidak
hanya disesuaikan dengan pembentukan seorang calon ulama tetapi juga harus
melihat lembaga yang menampung lulusannya.
Relevansi
prinsip yang seperti ini agaknya terhambat. Seharusnya pola pendidikan dan pola
pikir serta prisip pendidikan yang seperti ini harus segera di modifkasi serta
di integrasikan denga kondisi umat pada zaman sekarang, agar lulusan yang
dihasilkan tepat dan benar – benar dibutuhkan masyarakat yang akhirya bisa
membantu mslah ekonomi untuk dirinya, Hal ini berdasarkan anjuran ajaran islam
yang mengajarkan kebagaiaan hidup di dunia dan akhirat.
2.
Aspek
Tujuan
Selanjutnya
aspek tujuan yang biasanya dikaitkan
erat dengan pengembangan kurikulum dalam artian untuk mencapai suatu
efektifitas. Maksudnya jika semakin banyak tujuan yang akan dicapai, akan
mendorong efektivias yang akan dilaksanakan. Sebagai suatu rancangan, tentu aa
rancangan yang dapat dicapai. Di samping itu tujuan yang akan dicapai harus
jelas dan memang benar – benar sesuai dengan segala komponen yang berpengaruh
terhadap pendidikan itu sendiri. Jangan sampai apa yang diajarkan dan proses
pelaksanaannya sangat berbeda dengan tujuan yag diharapkan.
3.
Aspek
Lembaga
Kemudian
aspek lembaga yang merupakan pihak yang mengelola suatu
pendidikan, namun banyak orang berasumsi bahwa mengelola pendidikan agama tidak
perlu mendapatkan perhatian dan penanganan khusus. Hal ini karena outputnya
kurang dapat diandalkan untuk berkomptensi di masyarakat jika dibandingkan
dengan output lembaga pendidikan lain. Secara administrative lembaga pendidikan
islamyang benar – benar menerapkan manjemen pendidikan dengan baik sangat
jarang sekali. Salah satu hal yang berkaitan dengan lembaga pendidikan adalah
lingkungan pendidikan yang menjadi salah satu sarana sesorang anak dapat
mendapatkan pendidikan yang baik.
4.
Aspek
Sejarah
Selanjutnya
dilihat dari segi sejarahnya atau periodenya, pendidikan islam terbagi sebagai
berikut:
a) Periode
pembinaan islam yang berlangsung pada zaman nabi Muhammad SAW. masa ini
berlangsug sejak nabi Muhammad SAW menerima wahyu dan menerima pengangkatannya
sebagai rasul, Sampai dengan lengkap dan sempurnanya ajaran islam menjadi
warisan budaya umat islam. Masa ini berlangsung kurang lebih selama 23 tahun,
yaitu bermula ketika nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama kali pada tangal
17 bulan Ramadhan sebelum HIjriyah yang bertepatan dengan tanggal 6 agustus 610
M, sampai dengan wafatnya rasulallah SAW yaitu pada tangga 12 Rabi’ul Awwal,
tahun 11 hijriyah yang bertepatan dengan 8 juni 832 M.
Nabi Muhammad
Rasulullah SAW diberikan wahyu (AL-Qur’an) sebagai petunjuk dan pengajaran
kepada seluruh umat manusia untuk mengabdi kepada allah SWT, sehingga
pendidikan dan mengajarkan yang menitikberatkan kepada nilai keagamaan dan
akhlak serta menganjurkan manusia menggunakan akal pikirannya memperhatikan
kejadian makhluk hidup dan lingkungannya. Nabi Muhammad SAW ketika memberikan
penjelasan tentang Al-Qur’an kepada sahabat dengan cara langsung karena nabi
Muhammad tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis.
Kemudian para sahabatpun mengahafalnya dengan bimbingan rasulullah, selain itu
para sahabat yang pandai menulis juga diminta untuk menulis wahyu – wahyu itu
pada media kayu, batu, kulit,kain dan sebagainya. “During
the prophet's lifetime, paper was yet to be known in arabia continents,
although it had been found and used in china. due to his illiteracy, once the
prophet received a revelation from god Through Angel Gabriel, he would convey
it right away to his companionsthen memorized in under a guidance of the
prophet. those companions who were also able to wraite, were also asked to
record it o writing media such as woods, stones,clothes.leather etc”[8]
Kemudian
dalam menyiarkan pendidikan agama islam rasulallah SAW. berpidato di depan
khalayak ramai sambil membacakan ayat – ayat Al-Qur’an yang berisi petunjuk
peribadahan kepada allah swt, dalam hal ii rasulallah menggunakan metode
ceramah. Disamping itu rasulallah SAW juga manganjurkan kepada laki – laki dan
perempuan untuk belajar guna memberantas buta huruf atau kestidak tahuan.
Sebagaimana sebuah hadist yang artinya “menuntut ilmu adalah wajib bagi pri dan
wanita muslim ( HR. Bukhari Muslim)[9]
b) Periode
pertumbuhan pendidikan islam yang berlangsung sejak zaman nabi Muahammad SAW
wafat sampai masa akhir Bani Ummayah yang diiringi dengan erkembangan ilmu –
ilmu Naqliyah, pada masa perkembangan dan pertumbuhanya itu, pendidikan islam
mempunyai dua sasaran. Pertama, yaitu
generasi muda sebagai generasi penerus dan masyarakat bangsa lain yang belum
pernah mendapatkan ajaran islam, dan kedua adalah penyampaian ajaran islam dan
usaha internelisasi dalam masyarakat bangsa yang baru menerima yang di dalam
islam lazim disebut dakwah islam. Pada masa ini pendidikan Islam sekolah masih di masjid-masjid dan
rumah-rumah dengan ciri hafalan namun sudah dikenalkan logika
c) Periode
kejayaan ( puncak perkembangan) pendidikan islam, yang berlangsung sejak
permualaan daulah Abbasyiah samapai dengan jatuhnya Baghdad, yang diwarnai
dengan perkembangan ilmu aqliyah dan timbulnya madrasah yang kemudian
memuncaknya kebudayaan islam.
Sekolah-sekolah didirikan di kota-kota dan mulai menempati gedung-gedung besar
dan mulai bergeser dari matakuliah yang bersifat spiritual ke matakuliah yang
bersifat intelektual, ilmu alam dan ilmu sosial. Berdirinya sistem madrasah justru
menjadi titik balik kejayaan. Sebab madrasah dibiayai dan diprakarsai negara.
Kemudian madrasah menjadi alat penguasa untuk mempertahankan doktrin-doktrin
terutama oleh kerajaan Fatimah di Kairo. Dan ada beberapa kota yang menjadi
pusat kajian Islam di zamannya, yakni Nisyapur, Baghdad, Kairo, Damaskus, dan
Jerussalem. Ada empat perguruan tinggi tertua di dunia Muslim yakni: (1)
Nizhamiyah di Baghdad, (2) al-Azhar di Kairo Mesir, (3) Cordova, dan (4)
Kairwan Amir Nizam al-Muluk di Maroko
d) Periode
kemunduran pendidikan islam yaitu sejak jatuhnya Baghdad sampai jatuhnya mesir
ke tangan napoleon, yang di tandai dengan runtungnya sendi sendi kebudayaan islam dan berpindahnya pusat
–pusat pengembangan kedunia barat.
Penyebab
utama kemunduran dunia muslim khususnya di bidang ilmu pengetahuan adalah
terpecahnya kekuatan politik yang digoyang oleh tentara bayaran Turki. Kemudian
dalam kondisi demikian datang musuh dengan membawa bendera perang salib.
Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan ketika itu dihancurkan Hulaghu Khan 1258
M. Pusat-pusat studi termasuk yang dihancurkan Hulaghu.
e) Periode
pembaharuan pendidikan islam yang berlangsung semenjak pendudukan mesir oleh
napoleon sampai masa kini, yang di tandai dengan gejala – gejala kebangkitan
kembali umat dan budaya islam.
Selain
kita mengetahui sejarah perkembangan studi islam di timur kita juga perlu
mengetahui bagaimana perkembangan di dunia barat. Pendidikan islam di dunia Barat
(Eropa) dapat dikelompokkan menjadi dua fase, yakni: (1) di masa kejayaan Islam
(abad ke 8 M) kalau melihat Spanyol adalah abad 13 M, dan (2) di masa
renaissance / runtuhnya muslim, dimana Barat yang berjaya (selama abad ke 16 M)
sampai sekarang.
Fase Kejayaan Muslim
Seperti terungkap ketika membahas
sejarah perkembangan studi Islam di dunia Muslim, bahwa kontak pertama antara
dunia Barat dengan dunia muslim adalah lewat kontak perguruan tinggi. Bahwa
sejumlah ilmuan dan tokoh-tokoh barat datang di perguruan tinggi muslim untuk
memperdalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dunia Islam belahan timur,
perguruan tinggi tersebut berkedudukan di Baghdad dan di Kairo, sementara di
belahan barat ada di Cordova.
Bentuk lain dari kontak dunia muslim
dengan dunia barat pada fase pertama adalah penyalinan manuskrip-manuskrip ke
dalam bahasa latin sejak abad ke-13 M hingga bangkitnya zaman kebangunan
(renaissance) di Eropa pada abad ke-14.
Berkat penyalinan karya-karya ilmiah dari manuskrip-manuskrip Arab itu, terbukalah jalan bagi perkembangan cabang-cabang ilmiah tersebut di Barat. Apalagi sesudah aliran empirisme yang dikumandangkan oleh Francis Bacon menguasai alam pikiran di Barat dan berkembangnya observasi dan eksperimen.
Berkat penyalinan karya-karya ilmiah dari manuskrip-manuskrip Arab itu, terbukalah jalan bagi perkembangan cabang-cabang ilmiah tersebut di Barat. Apalagi sesudah aliran empirisme yang dikumandangkan oleh Francis Bacon menguasai alam pikiran di Barat dan berkembangnya observasi dan eksperimen.
Setelah ilmu-ilmu yang dahulunya
dikembangkan muslim masuk ke Eropa dan dikembangkan oleh sarjana-sarjana Barat,
dirasakan banyak tidak sejalan dengan Islam. Misalkan dirasakan dirasuki oleh
paham sekuler dan sejenisnya. Karena itu, beberapa ilmuan melakukan usaha
pembersihan.
Fase Renaissance / Runtuhnya Muslim
Uraian berikut adalah gambaran
kontak muslim dengan dunia barat pada periode kedua yang berlangsung selama
abad renaissance. Selama abad renaissance Eropa menguasai dunia untuk mencari
mata dagangan, komersial, dan penyebaran agama.
Kedatangan muslim fase kedua ke dunia barat, khususnya eropa barat dilatar belakangi oleh dua alasan pokok, yakni: (1) alasan politik dan (2) alasan ekonomi. Alasan politik adalah kesepakatan kedua negara, yang satu sebagai bekas penjajah, sementara yang satunya sebagai bekas jajahan. Misalnya Perancis mempunyai kesepakatan dengan negara bekas jajahannya, bahwa penduduk bekas jajahannya boleh masuk ke Perancis tanpa pembatasan. Maka berdatanglah muslim dari Afrika Barat dan Afrika Utara, khuusnya dari Algeria ke Perancis. Adapun alasan ekonomi adalah untuk mencukupi tenaga buruh yang dibutuhkan negara-negara Eropa Barat.
Kedatangan muslim fase kedua ke dunia barat, khususnya eropa barat dilatar belakangi oleh dua alasan pokok, yakni: (1) alasan politik dan (2) alasan ekonomi. Alasan politik adalah kesepakatan kedua negara, yang satu sebagai bekas penjajah, sementara yang satunya sebagai bekas jajahan. Misalnya Perancis mempunyai kesepakatan dengan negara bekas jajahannya, bahwa penduduk bekas jajahannya boleh masuk ke Perancis tanpa pembatasan. Maka berdatanglah muslim dari Afrika Barat dan Afrika Utara, khuusnya dari Algeria ke Perancis. Adapun alasan ekonomi adalah untuk mencukupi tenaga buruh yang dibutuhkan negara-negara Eropa Barat.
Untuk menutupi kebutuhan itu Belgia, Jerman,
Belanda merekrut buruh dari Turki, Maroko, dan beberapa negara Timur Tengah
lainnya, sementara Inggris mendatangkan dari negara-negara bekas jajahannya.
Adapun kategori Muslim yang ada di Eropa Barat ada dua, yakni pendatang
(migran) dan penduduk asli.
Kemudian
dilihat dari segi kelembagaannya
pendidikan islam mengenal adanya pendidikan yang dilaksanakan dirumah, masjid,
pesantren dan madrasah dengan berbagai corak dan pendekatanya. Lembaga –
lembaga islam inidapat dibagi lagi sesuai dengan periodesasinya, yaitu lembaga
pendidikan pada zaman Rasulullah SAW, lembaga pendidikan pada masa Khhulafaur
Rasyidin, lembaga pendiikan di zaman Umayyah, dan lembaga pendidikan di Zaman
Abbasyiah dan Andalusia.
C.
Model
Penelitian Studi Islam
Dilihat dari segi objeknya, studi islam dibagi
menjadi tiga bagian yang diantaranya adalah: Pertama, Pengetahuan ilmu,
yaitu pengetahuan mengenai hal-hal yang empiris melalui metode penelitian
ilmiah. Kebenaran dan kesalahannya dapat diukur dengan logis dan empiris. Kedua,
Pengetahuan filsafat, yaitu pengetahuan yang objeknya bersifat abstrak logis,
metode penelitiannya dari akal pikiran (logika). Kebenaran dan kesalahannya
dapat diukur dengan logika. Ketiga, Pengetahuan mistik, yaitu
pengetahuan yang objeknya abstrak dan supra logis (tidak bersifat empiris,
metode penelitiannya melalui supra rasional. Kebenaran dan kesalahannya dapat
diukur dengan keyakinan dan terkadang empiris. Untuk mengetahui penelitian dari
poin ketiga ini, kita dapat dirasakan melalui pengetahuan batin atau cara-cara
yang lainnya.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka pengetahuan filsafat
dan tasawuf merupakan bukan ilmu karena kedua pengetahuan tersebut tidak
bersifat empiris dan juga tidak memiliki cirri-ciri ilmiah. Dalam hal ini,
studi Islam cakupannya ialah masalah-masalah yang objeknya bersifat logis dan
empiris tentang pendidikan.[10]
Dengan demikian, metode penelitian studi islam ini
mencakup pengetahuan filsafat studi Islam, pengetahuan mistik studi Islam, dan
ilmu studi Islam. Dalam hal ini kajian yang berdasarkan logika (filsafat) dan
keyakinan (mistik) telah banyak dipakai oleh para ulama Islam, salah satunya:
Mohammad Al-Toumy Al-Syaibani yang karyanya berjudul Falsafah al-Tarbiyah
al-Islamiyah yang diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan judul falsafah
Pendidikan Islam yang diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta, 1979.
Sementara itu, dalam pengetahuan mistik dilakukan
oleh Al-Ghazali yang karyanya berjudul Ihya’ Ulum al-Din yang kemudian
diteliti oleh Fathiyah Hasan Fahmi dalam bukunya yang berjudul Sistem
Pendidikan versi al-Ghazali, yang diterjemahkan oleh Fathur Rahman May dan
Syamsuddin Asyrafani dari judul al-Madzhabut Tarbawi ‘ind al-Gkazali,
diterbitkan oleh al-Ma’arif, Bandung: 1986.
Dari penelitian studi Islam (sains yang empiris),
maka mucul teori-teori selanjutnya yang disesuaikan dengan ajaran islam. Dalam
pengembangan Ilmu studi Islam tidak
hanya mencakup bagaimana cara pengembangan filsafat studi Islam dan manual
studi islam saja, melainkan berdasarkan teori studi Islam pada masa pra-natal,
teori studi Islam bagi anak di rumah tangga, teori studi Islam bagi remaja di
rumah tangga dan lain sebagainya (menurut Ahmad Tafsir). Selain itu, teori
studi Islam dimasyarakat pun banyak bentuknya, misalnya penelitian tentang
teori di pesantren biasa, teori studi untuk di pesantren kilat, di majelis
ta’lim, khutbah, kursus-kursus dan sebagainya.[11]
Penelitian Ilmu Studi diatas dapat diarahkan pada
aspek-aspek yang terkandung didalamnya, misalnya penelitian terhadap
problematika yang dihadapi guru, penelitian cara memperbaiki tingkah laku guru
dalam mengajar, dan penelitian terhadap peranan kepala sekolah dalam
memperlancar pembaharuan pendidikan.
Dalam hal ini, ada beberapa model penelitian
mengenai Studi Islam yang akan
dijelaskan dibawah ini, yaitu sebagai berikut:
1. Model
Penelitian tentang Problematika Guru
Dalam
penelitian iniyang perlu dilakukan dalam penelitian problematika guru yaitu
dengan cara pengumpulan data yang dilakukan oleh bagian Himpunan Pendidikan
Nasional Penelitian (National Education Association) melalui survey para guru
(opinion survey for teacher).
Dengan
kata lain, metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan
penelitian survey, yaitu melalui pengumpulan data-data dilapangan melalui
kuesioner yang sampelnya mewakili tingkat nasional serta objek yang ditelitinya
adalah probem-problem yang dihadapi oleh para guru.
Dari
penelitian diatas, hasil yang diperoleh
yaitu ada 5 faktor yang mendasari problemtika para guru, yang diantaranya:
a. Sedikitnya
waktu untuk istirahat dan untuk persiapan pada waktu dinas disekolah
b. Ukuran
kelas yang terlalu besar
c. Kurangnya
bantua administrative
d. Gaji
yang kurang memadai
e. Kurangnya
bantuan kesejahteraan
2. Model
penelitian tentang Lembaga Pendidikan Islam
Menurut
Karel A. Steenbrink metode yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu melalui
pengamatan (observasi). Sedangkan objek pengamatannya adalah
pesantren-pesantren yang ada di pulau Jawa dan Sumatera yang memakan waktu
cukup lama yaitu selama 8 bulan.[12]
Selain
itu, Karel melakukan analisis kembali dan membandingkannya antara Malaysia dan
Indonesia. Beliau mengatakan pesantren-pesantren di Indonesia memberikan
pendidikan islam sesuai dengan zamannya, sedangkan di Malaysia memberikan
pendidikannya kurang bisa menyesuaikannya dengan zaman yang sekarang. Hal
seperti inilah yang menjadi perbedaan dalam dibidang pendidikan yang mamiliki
corak yang khas antara Malaysia dan Indonesia.
Selain
itu, Karel mengatakan bahwa sejak permulaan tahun 1970-an organisasi Islam
melepaskan diri dari politik dan partai karena lebih mementingkan cita asli
sebagai organisasi Islam yang bergerak dibidang dakwah dan pendidikan Islam.
Dapat
kita simpulkan dari penelitian diatas bahwa analisis tersebut diambil dari
data-data sejarah dan keadaan-keadaan dalam dunia pesantren diberbagai daerah.
3. Model
Penelitian Kultur Pendidikan Islam
Model
penelitian ini mengambil objek kajiannya mengenai kultur pendidikan di
pesantren yang dilakukan oleh Mastuhu dan zamakhsyari Dhofir.
a. Model
Penelitian Mastuhu
Penelitian
dengan model yang dilakukan Mastuhu pada saat menulis unuk program Doktornya.
Penelitian ini berjudulkan Dinamika
Sisem Pendidikan Pesantren yang diterbitkan oleh Indonesian Netherlands
Cooperation in Islamic Studiespada tahun 1994.
Dalam
penelitian tersebut, mastuhu mengatakan bahwa Islam di Indonesia ini perannya
tidak mampu memberikan penjelasan mengenai pedoman bagi pemeluk agama Islam
untuk berpartisiasi dalam pembangunan nasional. Untuk mencapai itu semua,
mastuhu berpendapat bahwa harus adanya perubahan dalam pemikiran islam, yaitu
dengan memahami dan mendalami ajaran Islam sesuai dengan realitas sosial.
Khususnya dalam pesantren yang menjadi pusat studi pembaharuan pemikiran dalam
Islam.[13]
Dilihat
dari segi metodenya, penelitian ini menggunakan metode yang mendasar pada
analisis data yang fakta pada setiap pesantren. Hal ini menunjukan bahwa
penelitian ini memiliki wawasan, pengalaman, keterampilan.
b. Model
Penelitian Zamakhsyari Dhofir
Model
penelitian yang dilakukan oleh Zamakhsyari Dhofir ini masih tetap disekitara
pesantren. Penelitian yang dilakukannya ini berjudul Tradisi Pesantren Studi
tentang Pandangan Hidup Kyai yang diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 1982.
Model
penelitian yang dilakukan oleh Zamakhsyari Dhofir menggunakan metode survey,
pengamatan, wawancara, dan studi dokumentasi di lapangan yang dilakukan pada
pesantren di Jawa tengah dan Jawa Timur yang menjadi wakil dari setiap
pesantren. Dalam hal ini, pembahasannya bersifat deskriptif, sedangkan
analisisnya menggunakan pendekatan sosiologi.
D.
Pertumbuhan
Studi Islam di Dunia
Pendidikan Islam pada zaman awal dilakukan pada masjid-masjid.
Mahmud Yunus mengemukakan bahwa pusat-pusat stui Islam klasik yaitu di Mekah
dan Madinah (Hijaz), Basrah dan Kufah (Irak), Damaskus dan Palestina (Syam) dan
Fistat (Mesir).[14]
Pada zaman kejayaan Islam, studi Islam dipusatkan
pada Ibukota Negara yaitu Bagdad. Di
Istana Dinasti Bani Abbas pada zaman al-Makmun (813-833), putra Harun
al-Rasyid, mendirikan lembaga pendidikan Bait al-Hikmah. Selain itu,
Nizham al-Muluk juga mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang bernama Madrasah
Nizhamiah. Disamping itu, di Eropa yang dipusatkan pada kota Spanyol yang
mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang bernama Universitas Cordova
yang didirkan oleh Abd al-Rahman III (Umayah).[15]
Studi Islam pada zaman sekarang telah berkembang dan
hampir seluruh negara di dunia, baik itu negara Islam maupun bukan negara
Islam. Di dunia Islam terdapat pusat-pusat studi Islam, seperti Universitas
al-Azhar di Mesir, Universitas Ummul Qura di Arab Saudi, Universitas Teheran di
Teheran. Pada Universitas Teheran ini, studi Islam dilakukan dalam satu
fakultas yang disebut dengan Kulliyat Ilahiyyat (Fakultas Agama). Selain itu
ada juga Universitas Damaskus (Siria), dalam universitas ini studi Islam dilakukan
dalam satu fakultas yang disebut dengan Kulliyat al-Syari’ah (Fakultas Syari’ah) yang didalamnya terdapat program
studi ushuluddin, tasawuf dan lain-lain.
Perkembangan
studi Islam di Indonesia dapat digambarkan demikian. Bahwa lembaga / sistem
pendidikan islam di Indonesia mulai dari sistem pendidikan langgar, kemudian
sistem pesantren, kemudian berlanjut dengan sistem pendidikan di
kerajaan-kerajaan Islam, akhirnya muncul sistem kelas. Maksud pendidikan dengan
sistem langgar adalah pendidikan yang dijalankan di langgar, surau, masjid atau
di rumah guru. Kurikulumnya pun bersifat elementer, yakni mempelajari abjad
huruf arab.
Dengan sistem ini dikelola oleh ‘alim, mudin,
lebai. Mereka ini umumnya berfungsi sebagai guru agama atau sekaligus menjadi
tukang baca do’a. pengajaran dengan sistem langgar ini dilakukan dengan dua
cara. Pertama, dengan sorongan, yakni seorang murid berhadapan secara langsung
dengan guru dan bersifat perorangan. Kedua, adalah dengan cara halaqah, yakni
guru dikelilingi oleh murid-murid.
Adapun
sistem pendidikan di pesantren, dimana seorang kyai mengajari santri dengan
sarana masjid sebagai tempat pengajaran / pendidikan dan didukung oleh pondok
sebagai tempat tinggal santri. Di pesantren juga berjalan dua cara yakni
sorongan dan halaqah. Hanya saja sorongan di pesantren biasanya dengan cara si
santri yang membaca kitab sementara kyai mendengar sekaligus mengoreksi jika
ada kesalahan.
Sistem
pengajaran berikutnya adalah pendidikan dikerajaan-kerajaan Islam, yang dimulai
dari kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Adapun materi yang diajarkan di majlis
ta’limdan halaqah di kerajaan pasai adalah fiqh mazhab al-Syafi’i. Pada akhir
abad ke 19 perkembangan pendidikan Islam di Indonesia mulai lahir sekolah model
Belanda: sekolah Eropa, sekolah Vernahuler. Sekolah khusus bagi ningrat
Belanda, sekolah Vernahuler khusus bagi warga negara Belanda.
Di samping itu ada sekolah pribumi yang
mempunyai sistem yang sama dengan sekolah-sekolah Belanda tersebut, seperti
sekolah Taman Siswa. Kemudian dasawarsa kedua abad ke 20 muncul
madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah model Belanda oleh organisasi Islam
seperti Muhammadiyah, NU, Jama’at al-Khair, dan lain-lain. Pada level perguruan
tinggi dapat digambarkan bahwa berdirinya perguruan tinggi Islam tidak dapat
dilepaskan dari adanya keinginan umat Islam Indonesia untuk memiliki lembaga
pendidikan tinggi Islam sejak zaman kolonial.
Pada bulan
April 1945 diadakan pertemuan antara berbagai tokoh organisasi Islam, ulama,
dan cendekiawan. Setelah persiaapan cukup, pada tanggal 8 Juli 1945 atau
tanggal 27 Rajab 1364 H bertepatan dengan Isra’ dan Mi’raj diadakan acara
pembukaan resmi Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Dari sinilah sekarang
kita mengenal UII, IAIN, UIN, STAIN dsb. Yang bermula 14
Institut dan 39 Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN). Selain itu ada juga
perguruan tinggi swasta yang khusus menyelanggarakan pendidikan tinggi Islam
yang salah satu bagian studinya, seperti Fakultas Agama di Universitas
Muhammadiyah di Jakarta dan Universitas Islam Bandung (UNISBA).
Studi Islam di negara-negara non-Islam yaitu
diantaranya di negara India tepatnya di Aligarch University, studi Islam dibagi
menjadi dua: Fakultas Ushuluddin yang di dalamnya terdapat jurusan Mazhab Ahli
Sunnahdan jurusan Mazhab Syiah yang mengkaji Islam sebagai doktrin. Sedangkan
Fakultas Humaniora dalam jurusan Islamic Studies yang mengkaji Islam dari segi
aspeknya.
Di Chicago, kajian Islam diselenggarakan di Chicago University, studi ini berada di
bawah pusat studi Timur Tengah dan Jurusan Bahasa, dan Kebudayaan Timur dekat .
pada lembaga ini, kajian Islam lebih mengutamakan kajian tentang pemikiran
Islam, bahasa Arab, naskah-naskah klasik, dan bahasa bahasa Islam non-Arab.
Sedangkan di Amerika, studi-studi Islam pada umumnya
mengutamakan studi sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam selain bahasa Arab,
sastra dan ilmu-ilmu sosial. Studi Islam di Amerika berada dibawah naungan
Pusat Studi Timur Tengah.[16]
E.
Tujuan
Pendidikan Islam
Secara
umum, tujuan pendidikan islam terbagi kepada beberapa macam :
1. Tujuan
umum
Tujuan umum adalah
tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan baik dengan
pengajaran ataupun dengan cara yang lain.
2. Tujuan
sementara
Tujuan sementara adalah
tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi pengalaman tertentu yag
direncanakan dalam sebuah kurikulum
3. Tujuan
akhir
Tujuan akhir adalah
tujua yang dikendaki agar peserta didik menjadi manusia – manusia sempurna
setelah ia menghabisi sisa umurnya
4. Tujuan
oprasional
Tujuan oprasional adalah tujuan praktis yang akan
dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu.
Namun menurut Abdurrahman Saleh Abdullah, ia mengatakan pendidikan islam bertujuan
untuk membentuk kepribadian sebagai khalifah Allah SWT, sekurang – kurangya
mempersiapkan ke jalan yang mengacu kepada tujuan akhirat[17]
BAB
III
Kesimpulan
Pendidikan islam adalah suatu usaha membimbing serta membina sekaligus bertanggungjawab untuk
mengembangkan intelektual anak ke arah kedewasaan sehingga dapat melakukan
perannya dalam kehidupan secara fungsional dan optimal. Pendidikan islam bertujuan untuk membentuk kepribadian sebagai
khalifah Allah SWT, sekurang – kurangnya mempersiapkan ke jalan yang mengacu
kepada tujuan akhirat. Pendidikan studi islam juga pernah berkembang berjaya
tak hanya di dunia timur tapi di barat juga
Daftar
Pustaka
Abd. Hakim, Atang, MA, Drs dan Mubarok,
Jaih, Dr. 2000. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Abuddin. Nata,2009. Metodologi
studi islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persadap
Arief. Armai. 2002. Pengantar
Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: CiputatPers
Power. David. 1986. Studies in Qur’an and Hadith. London: University
of californi perss
Al-Qara Daghi. Muhieddin.ali. 1997. The Islamic Creed. Marocco:ISECO
[1] Natta
abuddin,metodologi study islam,hlm. 335
[2] Ibid.,hlm.
336
[3] Ibid,.
hlm. 337
[4]
Syed.muhammad al-naqa’ib al-attas, konsep pendidikan dalam islam hlmn 65
[5] Natta
abuddin,metodologi study islam,hlm. 337
[6]
Ibid,. hlm. 338
[7]
Armai Arief, pengantar ilmu pendidikan
dan metodologi pendidikan islam.hlm.16
[8]
Understanding the Qur’n. iwan sudrajat.hlm 3
[9]
Lihat, Armai arif, pengantar ilmu dan
metodologi pendidikan islam ( Jakarta,Ciputat Pers,2002).hlm42
[10]
Ahmad Tafsir, Peta
penelitian Pendidikan Islam, dalam Ahmad Tafsir (ed.), Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung:
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati, 1995), hal. 95
[12]
Karel A.
Steenbrink, Pesantren, Madrasah, dan Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun
Waktu Modern, (Jakarta: LP3ES, 1986), cet. I, hal. xiii
[13] Mastuhu, Dinamika
Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hal. 4
[14] Zaini
Muchtaram, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Departemen Agama RI,
1986) , hal. 71
[15] Harun Nasution,
Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, cet. I (Jakarta: UI-press), hal. 68
[16] Drs. Atang Abd.
Hakim, MA dan Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, cet. 2 (Bandung:
Rosda, 2000) hal. 9
[17]
Armai Arief, pengantar ilmu pendidikan
dan metodologi pendidikan islam.hlm.19